Surabaya secara resmi berdiri pada tahun 1293. Tanggal peristiwa yang
diarnbil adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja Pertama Mojopahit melawan
pasukan Cina.
Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama.
Saat Itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu
yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan
Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat
Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut
kernerdekaan. Puncaknya pada tanggal l0 Nopember 1945, Arek Suroboyo
berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu
rnenjadi sirnbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap
Tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan.
Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.
Asal kata “SURABAYA” dan Simbol “SURA” dan “BAYA”
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman
kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka
1358 M. Dalam prasati tersebut terungkap bahwa Surabaya (churabhaya)
masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat
penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas.
Surabaya (Surabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama
yang ditulis oleh Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam
Wuruk pada tahun 1365 dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir).
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka
tahun 1358 M (prasasti Trowulan) & 1365 M (Negara Kertagama), para
ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tsb.
Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja
Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil
menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain
mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang
perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon
setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah
kraton di Ujunggaluh, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin
daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat
dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan
Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu
kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian
adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan
berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Kata “Surabaya” juga sering diartikan secara filosofis sebagai
lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain
itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro
(Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama
Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya
(Baya).
Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak
Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan
hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31
Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut
ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk oleh
pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “sura ing bhaya”
yang berarti “keberanian menghadapi bahaya” diambil dari babak
dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya
pada tanggal 31 Mei 1293.
Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan sura dan buaya terdapat
banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan
sura dan buaya diceritakan oleh LCR. Breeman, seorang pimpinan
Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.
Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya.
Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang
Kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPRS Kota
Besar Surabaya dengan Putusan no. 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955,
diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I. No. 193 tahun 1956 tanggal 14
Desember 1956 yang isinya :
1. Lambang berbentuk perisai segi enam yang distilir (gesty leerd), yang maksudnya melindungi Kota Besar Surabaya.
2. Lukisan Tugu Pahlawan melambangkan kepahlawanan putera-puteri
Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan melawan kaum penjajah.
3. Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti Sura Ing Baya melambangkan
sifat keberanian putera-puteri Surabaya yang tidak gentar menghadapi
sesuatu bahaya.
4. Warna-warna biru, hitam, perak (putih) dan emas (kuning) dibuat
sejernih dan secermelang mungkin, agar dengan demikian dihasilkan suatu
lambang yang memuaskan.
Sumber :Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda
di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996 (Website lama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar