Memasuki kawasan Glodok setelah melewati Pancoran terletak Jalan Toko
Tiga. Kita tidak tahu dinamakan demikian. Tapi ada yang menyebutkan
awalnya merupakan jalan dengan tiga toko. Orang Tionghoa menyebutnya Sha
Keng Tho Kho. Dahulu di Jalan Toko Tiga Glodok, terdapat sejumlah toko
tembakau, yang sekarang masih dapat kita jumpai dalam jumlah tidak
banyak.
Paruh pertama abad ke-19, tepatnya pada 1830′an, di kawasan Toko Tiga
terdapat sebuah toko tembakau terbesar di Batavia. Pemiliknya adalah
Oey Thay, yang berasal dari Pekalongan. Waktu itu dagang tembakau sangat
menguntungkan. Maklum di Batavia sebagian besar warganya memakan sirih.
Hingga di rumah-rumah terdapat tempat sirih dan tempolong untuk
membuang ludah sirih. Oey Thay sangat dikenal dan disegani masyarakat.
Ia memiliki empat anak, satu wanita yang kemudian menikah dengan putra
Bupati Pekalongan. Karena kedekatannya dengan Mayor der Chinezen, ia pun
diangkat sebagai Lieutnan der Chinezen, untuk kawasan Kali Besar. Kala
itu, pemimpin masyarakat Tionghoa diberi pangkat tituler: Mayor, Kapten,
dan Letnan.
Oey Thay meninggal dalam usia 50 tahun, meninggalkan harta warisan
bejibun bagi keluarganya. Beberapa bidang tanah sangat luas di Pasar
Baru, Curug, Tangerang dengan sewa 95 ribu gulden setahun. Waktu itu
dengan uang 10 gulden orang sudah bisa hidup sederhana. Selain itu, ia
mewariskan sejumlah rumah, uang, perhiasan yang jumlahnya melebihi dua
juta gulden. Hanya beberapa gelintir orang yang dapat dihitung dengan
jari yang memiliki kekayaan sebesar itu.
Harta warisan yang konon tidak habis untuk tujuh turunan ini, membuat
salah seorang putranya, Oey Tambahsia lupa diri. Berbekal dengan
ketampanan yang luar biasa, Oey menjadi seorang remaja yang gemar
berfoya-foya, dan mengejar para wanita. Ia kerap menghabiskan waktu
berkuda keliling kota dengan pakaian mewah, ditemani beberapa centeng.
Di kudanya yang diimpor dari Australia, Oey muda dengan matanya
jelalatan mencari gadis-gadis molek untuk dirayunya. Tak sedikit
keluarga yang menyembunyikan anak gadisnya dibalik pintu rumah tertutup
dapat karena takut terlihat pria hidung belang ini.
Ia juga dikenal sebagai orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Di
Jalan Toko Tiga, terdapat sebuah sungai yang kala itu airnya masih
jernih. Tiap pagi, saat Oey Tambahsia buang air besar di kali tersebut,
belasan orang menunggunya. Karena saat ia cebok menggunakan uang kertas
untuk membersihkannya. Saat itu mereka yang telah menunggunya, saling
rebutan. Hingga seringkali sampai ada yang luka-luka.
Setelah mencari gadis yang akan dijadikan umpan, sang playboy
kemudian mengalihkan operasinya ke daerah Senen. Secara kebetulan, ia
melihat seorang gadis molek dari keluarga Sim saat muncul dari balik
pintu. Padahal ketika itu, gadis-gadis Tionghoa, seperti juga pribumi
dipingit. Sulit keluar rumah tanpa ditemani orang tua dan kerabatnya.
Gadis itu akhirnya menjadi istrinya.
Pesta pernikahannya disebut-sebut sebagai pernikahan terbesar yang
tak ada tandingannya di Batavia. Begitu meriahnya pesta perkawinan
memanggil wayang Cina, tayuban, arak-arakan, dan kembang api. Tidak
tanggung-tanggung pesta ini berlangsung selama beberapa hari. Karuan
saja membuat Mayor Cina Tan Eng Goang yang tinggal di jalan yang sama
jadi geram. Demikian pula Dewan Cina yang merasa dilangkahi karena Oey
mengadakan pesta dan menutup jalan tanpa meminta izin kepadanya.
Ternyata pesta besar dan meriah tidak menjamin kelanggengan rumah
tangga suami istri ini. Hanya berlangsung beberapa minggu saja setelah
perkawinan, istrinya di sia-siakan. Si tampan kembali pada kebiasaannya
berfoya-foya. Ia memiliki vila di Ancol bernama Bintang Mas. Tempat ia
melampiaskan hawa nafsunya. Bahkan, saat berada di Pekalongan untuk
menghadiri acara keluarga, ia jatuh cinta pada seorang pesinden.
Perempuan ini dibawa ke Batavia. Ketika kakak Gunjing bernama Sutedjo
datang ke Batavia, Oey menjadi cemburu. Karena Guncing minta kakaknya
tinggal bersama mereka dan memberikan kain batik buatannya sendiri. Oey
pun memerintahkan dua orang kaki tangannya untuk menghilangkan Sutedjo.
Harta dan kekuasaan telah membutakannya. Ia menjadi pembunuh berdarah
dingin. Ia juga telah menghilangkan nyawa menantu Mayor Cina yang
menjadi pesaingnya dibidang bisnis. Masih banyak lagi kejahatan yang
dilakukannya. Hingga akhirnya ia pun dijatuhi mati dengan cara
digantung. Ketika ia naik ke tiang gantungan, Oey Tambahsia berjalan
tegak dengan tangan terikat. Sang algojo kemudian menendang dingklik
(tempat pijakan kaki yang dipakai berdiri). Dan terjeratlah leher Oey,
terkapar dan mati dalam usia 31 tahun.
Kisah yang pernah terjadi di Jakarta tempo doeloe, Ahad (17/4/2005),
telah digelar kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta di Jalan
Falatehan, Jakarta. Gedung ini dulunya merupakan Balaikota Batavia. Di
gedung ini ditemukan penjara dan ruang pengadilan. Di gedung inilah Oey
digantung dan diadili. Ratusan penonton yang ikut nimbrung acara
pegelaran, seolah-olah melihat Oey Tambahsia hidup kembali. Seperti
dikatakan Kepala Museum Sejarah Jakarta, kalau kali ini kami ingin
menghadirkan kehidupan masayrakat Tionghoa, karena mereka merupakan
bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Batavia masa lalu. Ini
merupakan pagelaran kelima dalam bentuk teater yang diselenggarakan
Museum Sejarah Jakarta.
(Sumber: Alwi Shahab, wartawan Republika. 23 Apr 2005 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar