Batavia pada masa VOC pernah dijuluki Venesia dari Timur. Venesia
adalah kota di Italia yang dikelilingi oleh sungai-sungai. Kota di Eropa
Selatan ini didatangi banyak wisatawan mancanegara yang ingin menikmati
wisata air.
Ketika membangun Batavia (1619), Jan Pieterzoon Coon, ingin meniru
kota Amsterdam dengan membangun belasan kanal. Rumah-rumah dibangun di
tepi kanal dengan pekarangan luas. Di tiap sisinya ditanam barisan pohon
yang membuat jalan-jalan di sekiitarnya begitu menawan dan tampak
sejuk.
Walau air melimpah di Batavia, tapi para serdadu Kompeni yang datang
dari Belanda sangat takut pada air dan jarang mandi. Ini sesuai dengan
kebiasaan di negerinya yang beriklim dingin. Padahal, masyarakat di
iklim tropis mandi sehari dua kali.
Karena mengikuti kebiasaan di negaranya, sampai tahun 1775 masih ada
perintah gubernur jenderal yang melarang pemaksaan terhadap soldadoe
garnizun agar mandi sekali seminggu. Jadi, untuk mandi pun harus
dikeluarkan SK Gubernur Jenderal. Tapi, para istri mereka yang hampir
seluruhnya lahir di Indonesia tak terlihat takut pada air dibandingkan
suami-sumai mereka yang datang dari Belanda.
Kita dapat membayangkan bagaimana baunya warga kompeni bila mereka mandi
hanya seminggu sekali. Tidak diketahui apakah pada abad ke-17 dan 18
itu sudah ada handuk untuk membersihkan badan, mengingat mereka mandi
seminggu sekali. Sabun pun ketika itu belum ada. Mereka membersihkan
badan dengan semacam batu yang pori-porinya terbuka.
Gubernur Jenderal VOC juga pernah mengatur pemanfaatan Kali Ciliwung
di sekitar kota tua. Salah satunya, penduduk tidak boleh BAB (buang air
besar) sembarang waktu di Ciliwung. Mereka baru dibolehkan membuang
kotoran manusia di Ciliwung mulai pukul 10 malam hingga menjelang pagi.
Lalu bagaimana bila penduduk ingin BAB sebelum waktu tersebut? Mereka
BAB di ember atau pispot. Di tiap rumah terdapat kamar yang menyediakan
ember untuk BAB dan buang air kecil. Semacam toilet dan WC sekarang
ini.
Baru menjelang pukul 10 malam, ember-ember yang berisi kotoran
manusia itu ramai-ramai di buang ke Ciliwung. Untuk BAB orang duduk di
kursi yang tengahnya berlobang dan di bawahnya terdapat ember atau
pispot.
Kebiasaan itu dapat kita saksikan pada gedung-gedung tua di Jakarta,
termasuk Gedung Museum Sejarah Pemprov DKI Jakarta di Jalan Falatehan.
Gedung yang dibangun pertengahan abad ke-18 dan sejumlah gedung lainnya
di kawasan ini tidak memiliki toilet, dan baru dibangun kemudian.
Ada suatu kebiasaan kala itu yang sangat tidak sehat. Penduduk,
khususnya orang Belanda, meminum air Ciliwung tanpa lebih dulu dimasak,
kecuali disaring. Menyebabkan mereka menjadi sangat tidak sehat. Hingga
dikepung berbagai penyakit, seperti disentri, muntah berak dan diare
yang sudah menjadi penyakit endemik di Batavia.
Ketika itu Ciliwung tidak luput dari sampah, sekalipun sampah organik
karena belum ada sampah plastik dan limbah industri. Orang Cina yang
meminum air teh yang terlebih dulu dimasak lebih sehat dan hanya sedikit
menderita penyakit tersebut.
Berpedoman peta abad ke-16, saya mendatangi Jalan Tongkol, sekitar
200 meter dari pintu air Pelabuhan Sunda Kalapa, Pasar Ikan, Jakarta
Utara. Tempat kumuh ini, pada abad ke-17, merupakan benteng kota
Batavia.
Di dalam benteng kota berupa bangunan persegi empat dengan tiap
sudutnya terdapat bastion sebagai tempat pertahanan bila menghadapi
ancaman musuh. Benteng ini dihancurkan pada 1810 oleh gubernur jenderal
Herman Willem Daendels karena dianggap sebagai kota yang sangat tidak
sehat.
Meskipun disuruh memilih ibukota baru antara Semarang atau Surabaya,
tapi Daendels memilih ‘Weltevreden’ sekitar 15 km selatan kota tua.
Karena kekurangan biaya, reruntuhan benteng digunakan untuk membangun
istana di Lapangan Banteng, yang kini menjadi gedung Departemen
Keuangan.
Di dalam benteng atau kastil Batavia terlihat sejumlah bangunan besar
dari bata dengan atap genteng. Benteng Batavia merupakan pusat
perdagangan VOC ke berbagai penjuru dunia. Terdapat istana gubernur
jenderal, rumah dewan penasihat Hindia Belanda, para saudagar, pegawai,
rumah tinggal walikota, para anggota Dewan Hindia, kepala seksi
akomodasi, pemegang pembukuan, pengacara umum, para kapten, ketua
sekretariat dan ruang persenjataan.
Juga terdapat dapur dan tempat pembuatan roti yang merupakan makanan
pokok warga Belanda. Terdapat pula ruangan untuk penjaga penjara dan
gudang-gudang. Tidak ketinggalan rumah dokter dan apotik. Semuanya
dilindungi oleh bastion dan parit pertahanan benteng yang selama 24 jam
dijaga oleh militer.
Meskipun pejabat VOC tinggal di dalam kastil namun kebanyakan pejabat
tingginya memiliki tempat tinggal kedua di luar kota atau pedesaan di
luar Batavia.
Dari awal orang Cina merupakan bagian penting penduduk. Gubernur
Jenderal JP Coen berusaha mengajak semua saudagar Cina di Banten untuk
pindah ke Batavia. Tapi usaha ini ditentang keras oleh Sultan Banten
yang mengerti bila orang Cina pergi perniagaan di Banten akan lenyap.
Tapi akhirnya, ketika menghadapi musim paceklik di Banten, mereka
pindah ke Batavia. Awalnya perkampungan Cina berdekatan dengan Pasar
Ikan, sekitar 2-3 km dari Glodok. Kala itu pemukiman Cina berpenghuni
800 orang dan 10 tahun kemudian 2000 orang.
Seperti Belanda, imigran Cina ke Indonesia tanpa disertai istri.
Mereka mengawini para budak dan penduduk setempat, tapi berusaha
mendidik putra-putrinya berpegang teguh pada adat istiadat budaya negeri
leluhurnya.
(Sumber: http://alwishahab.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar