Sabtu, 17 Maret 2012

Kompeni Mandi Seminggu Sekali

Batavia pada masa VOC pernah dijuluki Venesia dari Timur. Venesia adalah kota di Italia yang dikelilingi oleh sungai-sungai. Kota di Eropa Selatan ini didatangi banyak wisatawan mancanegara yang ingin menikmati wisata air.

Ketika membangun Batavia (1619), Jan Pieterzoon Coon, ingin meniru kota Amsterdam dengan membangun belasan kanal. Rumah-rumah dibangun di tepi kanal dengan pekarangan luas. Di tiap sisinya ditanam barisan pohon yang membuat jalan-jalan di sekiitarnya begitu menawan dan tampak sejuk.
Walau air melimpah di Batavia, tapi para serdadu Kompeni yang datang dari Belanda sangat takut pada air dan jarang mandi. Ini sesuai dengan kebiasaan di negerinya yang beriklim dingin. Padahal, masyarakat di iklim tropis mandi sehari dua kali.

Karena mengikuti kebiasaan di negaranya, sampai tahun 1775 masih ada perintah gubernur jenderal yang melarang pemaksaan terhadap soldadoe garnizun agar mandi sekali seminggu. Jadi, untuk mandi pun harus dikeluarkan SK Gubernur Jenderal. Tapi, para istri mereka yang hampir seluruhnya lahir di Indonesia tak terlihat takut pada air dibandingkan suami-sumai mereka yang datang dari Belanda.

Kita dapat membayangkan bagaimana baunya warga kompeni bila mereka mandi hanya seminggu sekali. Tidak diketahui apakah pada abad ke-17 dan 18 itu sudah ada handuk untuk membersihkan badan, mengingat mereka mandi seminggu sekali. Sabun pun ketika itu belum ada. Mereka membersihkan badan dengan semacam batu yang pori-porinya terbuka.

Gubernur Jenderal VOC juga pernah mengatur pemanfaatan Kali Ciliwung di sekitar kota tua. Salah satunya, penduduk tidak boleh BAB (buang air besar) sembarang waktu di Ciliwung. Mereka baru dibolehkan membuang kotoran manusia di Ciliwung mulai pukul 10 malam hingga menjelang pagi.
Lalu bagaimana bila penduduk ingin BAB sebelum waktu tersebut? Mereka BAB di ember atau pispot. Di tiap rumah terdapat kamar yang menyediakan ember untuk BAB dan buang air kecil. Semacam toilet dan WC sekarang ini.

Baru menjelang pukul 10 malam, ember-ember yang berisi kotoran manusia itu ramai-ramai di buang ke Ciliwung. Untuk BAB orang duduk di kursi yang tengahnya berlobang dan di bawahnya terdapat ember atau pispot.

Kebiasaan itu dapat kita saksikan pada gedung-gedung tua di Jakarta, termasuk Gedung Museum Sejarah Pemprov DKI Jakarta di Jalan Falatehan. Gedung yang dibangun pertengahan abad ke-18 dan sejumlah gedung lainnya di kawasan ini tidak memiliki toilet, dan baru dibangun kemudian.

Ada suatu kebiasaan kala itu yang sangat tidak sehat. Penduduk, khususnya orang Belanda, meminum air Ciliwung tanpa lebih dulu dimasak, kecuali disaring. Menyebabkan mereka menjadi sangat tidak sehat. Hingga dikepung berbagai penyakit, seperti disentri, muntah berak dan diare yang sudah menjadi penyakit endemik di Batavia.

Ketika itu Ciliwung tidak luput dari sampah, sekalipun sampah organik karena belum ada sampah plastik dan limbah industri. Orang Cina yang meminum air teh yang terlebih dulu dimasak lebih sehat dan hanya sedikit menderita penyakit tersebut.

Berpedoman peta abad ke-16, saya mendatangi Jalan Tongkol, sekitar 200 meter dari pintu air Pelabuhan Sunda Kalapa, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Tempat kumuh ini, pada abad ke-17, merupakan benteng kota Batavia.

Di dalam benteng kota berupa bangunan persegi empat dengan tiap sudutnya terdapat bastion sebagai tempat pertahanan bila menghadapi ancaman musuh. Benteng ini dihancurkan pada 1810 oleh gubernur jenderal Herman Willem Daendels karena dianggap sebagai kota yang sangat tidak sehat.

Meskipun disuruh memilih ibukota baru antara Semarang atau Surabaya, tapi Daendels memilih ‘Weltevreden’ sekitar 15 km selatan kota tua. Karena kekurangan biaya, reruntuhan benteng digunakan untuk membangun istana di Lapangan Banteng, yang kini menjadi gedung Departemen Keuangan.

Di dalam benteng atau kastil Batavia terlihat sejumlah bangunan besar dari bata dengan atap genteng. Benteng Batavia merupakan pusat perdagangan VOC ke berbagai penjuru dunia. Terdapat istana gubernur jenderal, rumah dewan penasihat Hindia Belanda, para saudagar, pegawai, rumah tinggal walikota, para anggota Dewan Hindia, kepala seksi akomodasi, pemegang pembukuan, pengacara umum, para kapten, ketua sekretariat dan ruang persenjataan.

Juga terdapat dapur dan tempat pembuatan roti yang merupakan makanan pokok warga Belanda. Terdapat pula ruangan untuk penjaga penjara dan gudang-gudang. Tidak ketinggalan rumah dokter dan apotik. Semuanya dilindungi oleh bastion dan parit pertahanan benteng yang selama 24 jam dijaga oleh militer.
Meskipun pejabat VOC tinggal di dalam kastil namun kebanyakan pejabat tingginya memiliki tempat tinggal kedua di luar kota atau pedesaan di luar Batavia.

Dari awal orang Cina merupakan bagian penting penduduk. Gubernur Jenderal JP Coen berusaha mengajak semua saudagar Cina di Banten untuk pindah ke Batavia. Tapi usaha ini ditentang keras oleh Sultan Banten yang mengerti bila orang Cina pergi perniagaan di Banten akan lenyap.

Tapi akhirnya, ketika menghadapi musim paceklik di Banten, mereka pindah ke Batavia. Awalnya perkampungan Cina berdekatan dengan Pasar Ikan, sekitar 2-3 km dari Glodok. Kala itu pemukiman Cina berpenghuni 800 orang dan 10 tahun kemudian 2000 orang.

Seperti Belanda, imigran Cina ke Indonesia tanpa disertai istri. Mereka mengawini para budak dan penduduk setempat, tapi berusaha mendidik putra-putrinya berpegang teguh pada adat istiadat budaya negeri leluhurnya.
(Sumber: http://alwishahab.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar