Istilah ‘jodoh di tangan hansip’ masih cukup populer sekarang.
Maksudnya, sebagai ejekan terhadap para muda dan mudi yang kawin setelah
sebelumnya ditangkap hansip karena sedamg ‘bermesraan’. Umumnya terjadi
pada tengah malam. Tapi, sekarang hansip yang punya tugas jaga keamanan
dan ketertiban kampung tidak perlu lagi mencampuri urusan demikian.
Sekarang bukan rahasia lagi hubungan sebelum nikah seolah-olah menjadi
hal biasa. Meminjam istilah psikolog terkenal, Sartono Mukadis,
muda-mudi kita sudah lebih matang di bidang seks. Terlihat dalam
sinetron dan berbagai tayangan di televisi yang melibatkan muda-mudi
sejak SLTP. Padahal, kemandirian mereka jauh lebih mundur dibanding
muda-mudi angkatan sebelumnya.
Dalam ihwal perjodohan ini, di masyarakat Betawi dikenal adanya ‘Mak
Comblang’. Istilah kerennya mediator atau perantara dalam hal perjodohan
muda-mudi. Maklum, sampai 1950-an cukup banyak gadis yang masih
dipingit. Untuk keluar rumah saja mesti ditemani keluarga atau pembantu.
Tapi, ada acara khusus seperti pesta perkawinan atau ‘keriyaan’ si
gadis yang sudah disiapkan berdandan dan bersolek seindah mungkin tidak
jarang ditaksir si ibu untuk jadi calon mantu. Bahkan, tidak jarang si
pemuda yang naksir dan minta dikawinkan oleh gadis idamannya. Nah, di
sinilah diperlukan adanya Mak Comblang. Sesuai namanya, dia perempuan
berumur (paruh baya) dan sudah memiliki keahlian terampil dalam mencari
calon menantu.
Tiap keluarga yang akan dikunjungi Mak Comblang akan menampilkan anak
gadisnya setelah lebih dulu didandani seindah mungkin. Si ibu pun sudah
menyiapkan hidangan istimewa untuk Mak Comblong dan rombongan. Ketika
terjadi pembicaraan antara orang tua dan Mak Comblang, si gadis lebih
dulu masuk ke kamar. Setelah terjadi kecocokan, sang jejaka pun sudah
berani datang ke rumah si gadis ngelancong. Ngelancong pertama kali
biasanya si jejaka ditemani kawannya. Ia belum berani datang sendiri.
Dalam ngelancong ini si jejaka belum bertemu secara langsung dengan
gadis pujaannya karena tujuannya adalah memperkenalkan diri kepada
keluarga si gadis.
Apalagi, ‘colak-colek’ seperti pacaran sekarang. Setelah itu ngelancong
agak sedikit lebih bebas. Tapi, tetap masih dalam pengawasan orang tua
si gadis. Setelah segalanya berjalan lancar, terjadilah acara melamar
berupa permintaan resmi dari keluarga pria kepada keluarga wanita. Saat
itu juga keluarga pria akan mendapat jawaban dari pihak wanita, apakah
lamarannya diterima atau ditolak. Kemudian, dilanjutkan dengan tanda
putus atau tunangan. Yang berarti calon none mantu telah terikat dan
tidak lagi dapat diganggu oleh pihak lain. Begitu pula dengan calon tuan
mantu. Setelah itu dilanjutkan dengan akad nikah. Masyarakat Betawi
biasanya menyelenggarakan akad nikah hari Jumat.
Alasannya, pada hari Jumat orang Betawi tidak pergi jauh-jauh dari
rumahnya karena ada kewajiban Shalat Jumat. Sebelum akad nikah diadakan
acara ‘bawa tanda putus’. Pada acara ini diserahkan bawaan tanda putus.
Setelah acara ini ditentukan hari dan tanggal pernikahan. Mahar atau mas
kawin menjadi pembicaraan pokok. Pada tempo doeloe dengan mendengar
permintaan dari pihak calon none mantu, seorang utusan dari keluarga
tuan calon mantu akan segera memahami berapa jumlah biaya yang
diperlukan. Ada pun ketika menyebut maharÿ20atau mas kawin, orang Betawi
punya tatakrama sendiri. Dia tidak akan menyebut langsung apa dan
berapa permintaan yang diinginkan. Biasanya pihak calon none mantu
mengutarakannya dengan gaya bahasa atau ungkapan yang tersirat.
Misalnya, ”None kita mintanye mate bandeng seperangkat.” Berarti
pihak si gadis menghendaki mas kawin seperangkap perhiasan emas bermata
berlian. Jika pihak gadis mengatakan, ”None kita mintanye mate kembung
seperangkat”, berarti mas kawin yang diminta seperangkat perhiasan emas
bermata berlian. Ketika pihak pengantin pria menyerahkan tanda putus,
beberapa jenis bawaan yang mengiringi mahar, antara lain sirih nanas
lamaran yang melambangkan pernyataan rasa hormat dan ungkapan rasa
gembira pihak keluarga pria kepada calon besar. Bawaan lain adalah
miniatur masjid berisi jumlah uang lamaran. Masjid sendiri diartikan
sebagai lambang keteguhan akidah Islamiyah. Tidak boleh ketinggalan
sepasang roti buaya yang perempuannya menggendong seekor buaya kecil
(anak buaya) di punggungnya.
Ini sebagai lambang telah berakhirnya masa bujangan dengan
melaksanakan pernikahan. Buaya menurut pengertian orang Betawi adalah
jenis satwa yang ulet, panjang umur, kuat, dan juga termasuk satwa yang
sabar dan setia. Tapi, buaya, seperti dikemukakan tokoh Betawi KH Irwan
Sjafi’ie, melambangkan sifat orang Betawi yang sabar dan santun, tapi
akan bertindak tegas bila diganggu. Biasanya pada malam resepsi yang
sampai 1960-an diadakan di rumah-rumah dengan mamasang pelampang
diadakan malam hiburan. Ada yang diimeriahkan oleh orkes gambus atau
orkes melayu. Maka, sejumlah pemain dangdut kala itu, seperti Johana
Satar, Ellya Khadam, Elvie Sukaesih, M Mashabi, dan Munif Bahasuan,
terlihat manggung di pesta pernikahan di kampung-kampung. Belum ada
wanita yang berani joget di panggung saat itu.
(Sumber: Alwi Shahab, Wartawan Republika )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar