Hanya beberapa meter memasuki pintu gerbang Kebun Raya Bogor kita
akan mendapati sebuah bangunan berbentuk bundar. Bangunan ini merupakan
tugu peringatan Olivia Mariamne Raffles, istri tercinta Sir Stamford
Raffles, Letnan Gubernur Inggris untuk Jawa dan daerah sekitarnya. Tapi,
tugu peringatan ini bukan merupakan makam Olivia yang meninggal 26
Nopember 1814 dalam usia 43 tahun. Olivia sangat berjasa dalam
mengembangkan Kebun Raya Bogor. Ia dimakamkan di Gereja Lama di Jakarta
Kota yang kini jadi Museum Wayang. Kemudian pemakaman Kristen ini
dipindahkan ke Kebun Jahe Kober (Jl Tanah Abang I). Kala itu letaknya
jauh di luar kota Batavia. Jenazah dan iring-iringannya harus diangkut
ke pemakaman dengan perahu melalui kali Krukut. Kemudian dari tepi
sungai ini (di belakang Departemen Informasi dan Komunikasi yang
sebelumnya gedung Deppen), jenazah dijemput kereta jenazah berkuda untuk
diangkut ke pemakaman yang jaraknya sekitar 100 meter.
Thomas Jefferson dalam bukunya Raffles Sang Pejuang melukiskan Olivia
Raffles adalah seorang perempuan pintar dan mengagumkan. Tidak heran
walau usia istri Raffles ini terpaut 10 tahun lebih tua dari suaminya
ini, tapi Raffles sangat mengagumi dan menyayanginya. Kematian Olivia
dituliskan membawa duka mendalam bagi Raffles. Raffles sendiri
(1811-1816) selama di Jawa lebih menyukai tinggal di Istana Buintenzorg
(Bogor) yang berhawa sejuk ketimbang di Batavia. Meskipun ia membangun
rumah di Rijswijk (Jl Veteran) yang kini menjadi Bina Graha, tempat
kerja kepala negara. Raffles sangat berminat pada sastra dan budaya. Ia
pandai berbahasa Melayu dan jauh sebelum invasi Inggris ke Batavia ia
lebih dulu mempelajari karakter para sultan dan ningrat pulau Jawa dan
Melayu. Raffles ditugaskan (1810) oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal
Inggris di Hindia Timur yang bermarkas di Kalkutta (India) untuk
memberikan laporan sampai sejauh mana kekuatan Marsekal Herman Willem
Daendels.
Apakah kebangsawanan Jawa, pangeran atau keraton akan mendukungnya bila
Inggris melakukan invasi ke Jawa? Demikian ia membuat analisis sebelum
datang ke Jawa. Sifat Raffles berlainan dengan Daendels yang bertangan
besi dan sangat dibenci bukan saja oleh kalangan pribumi, tapi juga
Belanda sendiri. Oleh sekretarisnya, Abdullah, Raffles dilukiskan
sebagai pria yang paling santun dalam pergaulan dengan orang lain. Atas
penugasan yang sangat rahasia itu Raffles menyarankan kekuatan 3000
pasukan Eropa, 6000 perajurit India, 500 kavaleri, dan artileri kereta
kuda sebagai jumlah yang sudah memadai untuk menaklukkan Jawa. Walaupun
ia memperkirakan kekuatan Prancis dan Belanda sekitar 14 ribu pasukan.
Ia mengusulkan bulan Mei waktu yang tepat untuk mulai invasi ke Jawa.
Namun, peta perjalanan kapal tidak melalui garis lurus dari Malaka ke
Batavia yang jaraknya sekitar 650 mil.
Ia memilih lewat rute Borneo (Kalimantan) yang berjarak lebih dari
seribu mil dari Penang. Dari sini ia kemudian menyusuri pantai barat
Borneo dan menyeberangi kanal yang memisahkannya dari Jawa berjarak 1300
mil. Panjang seluruh rute menjadi 2450 mil dibandingkan dari Malaka
yang cuma sejauh 650 mil. Ekspedisi pasukan Inggris ini berlangsung dari
18 Juni 1811 hingga minggu pertama Agustus atau sekitar satu setengah
bulan. Yang menarik dalam perjalanan ini mereka menemukan Singapura yang
kala itu masih bernama Tumasek. Pulau yang penuh rawa dengan populasi
Melayu yang sangat sedikit ini kelak dibangun Raffles hingga kemudian
menyaingi Batavia. Pada 4 Agustus seluruh pasukan sudah mendarat di
Batavia (melalui Cilincing, Jakarta Utara). Pasukan ini mendarat tanpa
adanya perlawanan dan dapat merangsek kekuatan Prancis dan Belanda
hingga ke benteng Meester Cornelis (Jatinegara). Tentara Inggris dan
tentara India yang bernaung dibawah Inggris diinstruksikan untuk tidak
menyakiti penduduk dan mengambil secara paksa harta mereka. Peraturan
ini dipatuhi pasukan Inggris.
Dan pada 11 September 1811 Raffles ditunjuk jadi Letnan Gubernur di
Hindia. Sebetulnya ketika Daendels tiba di Batavia pada 1 Januari 1808
ia mendapat tugas dari Napoleon untuk mempertahanakan Jawa dari invasi
Inggris. Waktu itu keadaan Batavia tidak sehat. Ia bukannya memindahkan
ibukota ke daerah pegunungan yang lebih nyaman, malah membangun istana,
tempat tinggalnya yang baru di di Bogor yang kala itu merupakan daerah
pegunungan yang indah dan berhawa sejuk. Untuk itu Daendels melakukan
perjalanan pulang pergi dari Bogor ke Batavia dengan kereta berkuda.
Istana Bogor yang juga dinikmati oleh Raffles ini dulu terletak di
perbatasan sebuah perkebunan kopi. Selama masa jabatannya yang singkat
di Hindia, Daendels disibukkan persiapan untuk menghadapi invasi Inggris
yang kedatangan angkatan bersenjatanya telah ditunggu-tunggu sejak ia
tiba di Batavia.
Kecintaannya pada Napoleon (Prancis) telah dibuktikan dengan tiga
hari setelah Belanda ditaklukkan Napolen ia memintakan pemasangan
bendera Prancis di seluruh kota Batavia. Kebengisannya masih tersisa
hingga sekarang ini berupa puing-puing bekas Istana Surosowan di Banten
yang telah dihancurkannya. Hanya karena Sultan Banten menolak
permintaannya untuk mengerahkan rakyat kerja rodi membangun jalan
pertahanan di Ujung Kulon. Tapi, ia berjasa dalam membangun kawasan
Weltevreden yang peninggalannya hingga sekarang masih berdiri tegak. Di
samping Istana Bogor, ia juga membangun sebuah istana di Lapangan
Banteng yang kini menjadi gedung Departemen Keuangan. Bahkan, berkat
Daendels kini kita memiliki lapangan terbesar di dunia yang kini bernama
Monas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar