Orde baru, sebuah istilah untuk menyebutkan masa pemerintahan
Soeharto selama 32 tahun, masih melekat kuat dalam ide-ide politik dan
penulisan sejarah. Istilah ini pun masih seringkali dipergunakan oleh
kaum pergerakan, dalam artikel-artikel mereka, selebaran, pernyataan
politik, dan sebagainya. Saya pun seringkali menggunakannya, sebelum
ini.
Karena itu, tanpa disadari, proses penaklukan ide-ide berjalan terus
dan berusaha memutus setiap harapan untuk keluar dari jebakan kesalahan
penulisan sejarah. Ini adalah salah satu monumen penindasan rejim
Soeharto yang masih berdiri kokoh, jarang digugat, dan kurang tersentuh
perdebatan.
Pemunculan Istilah Orde Baru dan Orde Lama
Soeharto menggunakan istilah “orde baru” untuk kekuasaannya, sesuatu
yang dibedakan dengan orde lama dan kerapkali ditimpakan kepada
era-Soekarno. Orde baru, dalam kacamata rejim Soeharto, merupakan
koreksi total terhadap penyimpangan orde lama, pemerintahan Soekarno.
Bagi Soeharto dan pendukungnya, Soekarno bukan hanya dekat dengan
PKI, tetapi juga dianggap penyebab kemerosotan ekonomi sekalipun utang
luar negerinya tidak mencapai 10 miliar USD, menyebarnya praktik
korupsi, dan lain sebagainya. Sebaliknya, orde baru dianggap sangat
baik, orde yang akan menjalankan pembangunan.
Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan dan siapa yang
memunculkan label itu. Ada yang mengatakan, istilah Orde Baru lahir
begitu saja pada saat maraknya aksi mahasiswa anti-Soekarno di awal
tahun 1960-an. Namun, ada juga yang mengungkapkan, orde baru merupakan
istilah yang diimpor dari luar negeri.
Setelah memeriksa Wikipedia, orde baru memang mengacu ke banyak hal,
mulai dari nama group band di Inggris, nama album, nama koran kiri yang
diasuh Antonio Gramsci, hingga strategi politik Nazi di tahun 1940-an.
Orde baru sendiri, dalam sejarah politik Indonesia, bukan Soeharto
yang berkata pertama kali. Jauh sebelumnya, saat Soekarno menyampaikan
amanat di HUT Kemerdekaan RI tahun 1962, dia sudah berbicara soal orde
baru. Soekarno berkata, “ …justru revolution reject yesterday! Revolusi
membuang orde tua, diganti orde baru.”
Jadi, bagi Soekarno, orde baru adalah hasil dari sebuah revolusi,
hasil dari sebuah penghancuran tatanan lama dan pembangunan tatanan
baru, atau yang sering disebut desktruksi dan konstruksi. Lahirnya orde
baru Soeharto tidak melalui revolusi yang demikian itu, melainkan sebuah
proses kudeta secara bertahap.
Soekarno Bukan Orde Lama
Ketika istilah orba dan orla mencuat di akhir 1966, Soekarno hanya
menjawab; “ saya itu tidak tahu apa ini orde lama atau orde baru. Saya
adalah, nah ini jawab saya, orde asli. Orde asli pokok tujuan sumber
daripada revolusi.”
Argumentasi di atas, kalau boleh ditafsirkan, menjelaskan sikap
Soekarno yang enggan masuk dalam labelisasi orba dan orla. Sebagai
seorang yang berpengetahuan luas, Soekarno sangat tahu kekacau-balauan
label-label tersebut, dan ia berusaha menjelaskan pandangan tersendiri
mengenai posisinya. Soekarno berkata, “sejarah akan membuktikan, bahwa
politik yang aku jalankan adalah benar. Yang paling penting adalah
membangun jiwa nasional, jiwa bangsa.”
Kalau kita konsisten pada istilah orba sebagai tatanan baru, maka
seharusnya memang perlu ada sebuah proses revolusi. Mustahil sebuah
tatanan baru tanpa revolusi, apapaun cara dan bentuknya. Soekarno
mencintai suatu proses revolusi, dalam pengertian suatu perjuangan
jangka panjang rakyat Indonesia untuk mencapai tujuan akhir; masyarakat
tanpa penghisapan manusia atas manusia dan tidak ada penghisapan bangsa
atas bangsa. Ide dan praktik politiknya tidak hanya berlaku di dalam
negeri, namun juga diperjuangkan dalam medan perang internasional.
Saat itu, dunia sedang berkecamuk dengan perjuangan anti-imperialisme
dan anti-kolonialisme di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin. Dia menjadi bagian dari konferensi Asia-Afrika tahun 1955
di Bandung, gagasan pertama soal dunia baru (multipolarisme). Ia
membagi dunia dalam dua kubu; kubu lama (Oldefo) dan kubu baru (Nefo).
Nefo adalah embrio tatanan baru (orde baru-nya dunia). New Emerging
Forces (NEFO) yang oleh Bung Karno dijabarkan dalam pidatonya, Genta
Suara Revolusi (Gesuri, 1963), adalah: “satu kekuatan raksasa yang
terdiri dari bangsa-bangsa dan golongan-golongan progresif yang hendak
membangun satu Dunia Baru yang penuh dengan keadilan dan persahabatan
antar-bangsa…yang penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan…tanpa
imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme par l’homme et
de nation par nation.”
Di dalam negeri, Soekarno sangat menyadari, merdekanya suatu bangsa
jajahan mengisyarakatkan adanya penghancuran rantai-rantai politik,
belenggu-belengu ekonomi, dan hukum-hukum penjajahan kolonial. Untuk
itu, di mata Soekarno, kemerdekaan politik hanyalah “jembatan emas”
dalam menuntaskan perjuangan nasional.
Tidak hanya itu, Soekarno menjelaskan bahwa fase revolusi nasional
hanya tahapan untuk revolusi selanjutnya, revolusi sosial. Namun,
Soekarno menekankan penuntasan revolusi nasional sebagai syarat mutlak
sebelum fase revolusi sosial, atau sering dinamakan revolusi panca-muka.
“Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan sosial, menyusun masyarakat
normal saja tak mungkin, sebelum selesainya tugas nasional,” demikian
dikatakan Bung Karno.
Sangat jelas, Soekarno ingin membangun Indonesia baru yang merdeka,
adil dan makmur, tidak hanya sebagai antitesa terhadap masyarakat
kolonial, tapi sebagai kehendak bersama seluruh rakyat Indonesia
(marhaen). Suatu susunan masyarakat baru yang dinamainya dengan
“sosialisme Indonesia”.
Soeharto Menandai Rekolonialisme
Soeharto berkuasa setelah mendepak Bung Karno, berarti telah
menghentikan revolusi itu sendiri. Konsekuensi dari menjatuhkan Soekarno
tidak saja berarti berakhirnya revolusi, berakhirnya nation dan
character building, tapi lebih jauh disertai penghancuran dan
pembersihan tenaga-tenaga anti-imperialis dan anti-kolonialis.
Dalam November 1967, setelah golongan Soekarnois dan PKI benar-benar
telah dilumpuhkan, orang-orang Soeharto telah bertemu dengan para
kapitalis terbesar dan paling berkuasa di dunia, seperti David
Rockefeller, di Jenewa, Swiss. Hadir dalam pertemuan tersebut
raksasa-raksasa korporasi barat, diantaranya General Motor, Imperial
Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American
Express, Siemen, Goodyear, The International Paper Corporation, dll.
Dalam dua hari pertemuan saja, sejumlah asset dan sumber daya alam
strategis seperti hutan, emas, batu-bara, minyak bumi, dsb, telah
dibagi-bagi diantara konsorsium korporasi asing itu. Dan, sebagai bonus
tambahan, pemerintah Indonesia telah bersedia mengundangkan UU nomor 1
tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang begitu ramah dan baik
hati terhadap “perampokan sumber daya” tersebut. Ini merupakan tahap
awal dari proses rekolonialisme di Indonesia.
Ketika Soeharto berkuasa, proses nation and character building
digantikan dengan indoktrinasi dan pemaksaan kekerasan. Nasionalisme
juga sudah diubah menjadi lebih chauvinis, dan disebarkan ke dalam
sumsung tulang dan sanubari bangsa Indonesia. “Kesukarelaan” digantikan
dengan todongan senjata. Tidak mengherankan, masa pemerintahan Soeharto
sangat gelap karena berbagai tindakan pelanggaran HAM.
Tidak berhenti di situ, Soeharto juga mempraktekkan korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) yang tiada taranya, hingga mewariskan struktur
politik paling korup di dunia hingga hari ini. Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah diperkirakan
15-35 miliar USD, terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam
sejarah.
Kalian tentu sudah sangat fasih untuk menghafal dosa-dosa Soeharto di
masa lalu, sehingga saya tidak perlu berpanjang lebar untuk
mengulang-ulang di sini. Tetapi, pada intinya orde baru ala Soeharto,
mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer, adalah orde paling tua di dunia.
Istilah Orde Baru dan De-Soekarnoisasi
Penggunaan istilah “orde baru” adalah bagian dari de-soekarnoisme,
sebuah proyek untuk menggusur nama besar dan pemikiran Bung Karno dari
panggung sejarah perjuangan nasional di Indonesia. Selain istilah “orde
baru”, Soeharto juga masih mengadopsi istilah-istilah progressif di masa
itu untuk memberi cap progressif pada aksi-aksi dan tindakannya,
misalnya pahlawan revolusi, kesaktian pancasila, dan sebagainya.
Ada beberapa pertimbangan, menurut saya, yang membuat Soeharto harus
melakukan hal-hal semacam ini; pertama, sangat sulit untuk menggusur
ide-ide dan jiwa progressif rakyat Indonesia saat itu, yang telah
dibangun sejak perjuangan anti-kolonial hingga puncaknya di tahun
1960-an, hanya dalam waktu singkat. Kedua, sangat sulit bagi siapapun
untuk menggusur dan menggantikan Soekarno sebagai simbol dari perjuangan
nasional, termasuk kharisma dan perannya sebagai bagian terkemuka
perjuangan pembebasan.
Segera setelah PKI dihancurkan dan kekuatan pendukung Soekarno
dilumpuhkan, maka proses de-sukarnoisasi segera menyebar seperti
penyakit menular. Soeharto, dengan bersikap tangan besi, mulai
mengurangi aktivitas berpidato Bung Karno, melarang ajaran-ajaran beliu,
dan bahkan mengucilkannya dari kehidupan politik.
Pada bulan Juli 1967, para panglima Kodam se-Jawa telah berkumpul dan
membuat deklarasi yang dikenal dengan istilah “tekad jogja”, yaitu
tekad para panglima Kodam se-jawa untuk menjalankan de-sukarnoisasi.
Pernah, dalam tahun 1984, ketika Nugroho Notosusanto menerbitkan buku
“pejuang dan prajurit”, wajah Bung Karno tidak nampak dalam gambar
pengibaran bendera merah putih saat proklamasi 17 Agustus 1945. Ini
sangat ironis, seorang proklamator kemerdekaan bangsa, justru hendak
dihapus dari buku-buku sejarah.
Kini, setelah banjir bah de-sukarnoisasi menyapu kesadaran rakyat
selama puluhan tahun, perjuangan untuk mengembalikan ingatan menjadi
sangat penting. Sejarah penting disusun ulang, tidak perlu menunggu
inisiatif negara dan elit politik. Dalam proses itu, saya menganggap
penting untuk mulai menghapus istilah-istilah salah kaprah Soeharto
seperti orde baru, kesaktian pancasila, pahlawan revolusi, dsb, dan
memberinya label yang tepat.
Karena itu, masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun jangan lagi
disebut orde baru, karena Soeharto tidak membangun tatanan baru atau
susunan masyarakat baru, malahan mengembalikan kolonialisme. Demikian
pula dengan sebutan “orde lama”, harus disingkirkan jauh-jauh dari
keidentikan dengan Soekarno.
Saya menganjurkan, kita sebaiknya menyebut masa pemerintahan Soeharto
dengan rejim Soeharto saja atau rejim militeristik. Kata “orde
pembangunan” pun harus dibuang jauh-jauh. Kita lebih pantas menyebutnya
dengan orde “national and character destruction”. Kalau ditaruh dalam
fase perjuangan bangsa Indonesia, maka masa pemerintahan Soeharto dapat
dikatakan sebagai era kembalinya kolonialisme barat (rekolonialisme).
(Sumber: Rudi Hartono, Arah Kiri 2009)